Khairul Anam HS
(Tulisan ini telah dipresentasikan di mata kuliah Filsafat Ilmu Pasca S2 UIN Alauddin Makassar)
I. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spritua, moral dan etika. Oleh karena itu Islamisasi ilmu pengetahuan dalam pandangan para pemikir Islam merupakan suatu hal yang mesti dan harus dirumuskan.
Dari uraian singkat di atas penulis akan membahas hal sebagai berikut :
1. Arti sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan serta yang melatar belakangi munculnya.
2. Sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengethuan ditinjau dari epstimologinya.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Sekularisasi
Istilah Sekularisasi berkakar dari kata Sekuler yang berasal dari bahas latin Seaculum artinya abad ( age, century ), yang mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spritual, abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.[1]
Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi Mujaahwati al-Islam, sekular ialah la Diniyyah atau Dunnaawiyah yang yang bermakna sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan agama atau semata dunia.[2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang iak didasarkan pada ajaran agama.[3]
Makna Sekularisasi itu sendiri, menurut Norcholis Madjid mengartikannya sebagai proses penduniawiyaan atau proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama.[4] Adapula yang mendefinisikannya sebagai suatu proses yang terjadi dalam segala sektor kehidupan masayarakat dan kebudayaan yang lepas dari dominasi lembaga-lembaga an simbol-simbol keagamaan.[5]
Dari berbagai di atas menunjukkan bahwa makna Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan/pembebasan ilmu dari setiap pengeruh agama sebagai landasan berpikir.
2. Islamisasi
Islamisasi, ditinjau dari katanya bersalal dari akar kata Islam. Secara etimologi berarti tunduk/pasrah dan patuh. Sedang terminologi adalah agama yang menganjurkan sikap pasrah kepada Tuhan yang dalam bentuk yang diajarkan melalui Rasulullah SAW. yang berpedoman pada kitab suci al-Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Islamisasi sendiri bermakna pengislaman.[6]
Farid Alatas membahasakan Islmisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu ilmu yang merujuk pada upaya mengelimir unsur-unsur atau konsep-konsep pokok yang membentuk peradaban dan kebudayaan barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, yang termasuk dalam unsur-unsur atau konsep humanisme, drama serta strategi dalam kehidupan rohani yang meyebabkan ilmu yang sepenuhnya benar menurut ajaran Islam tersebar ke seluruh dunia, setelah melewati proses di atas ke dalam ilmu tersebut dinamakanlah unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman. [7]
Islamisasi pengetahuan yang mengandung ilmu benar jika ilmu itu sesuai dengan fitrah yang mempunyai unsur-unsur pokok keIslaman seperti insan, din, ilm’ dan ma’rifah’ad, ’amal adab dan sebagainya. Jadi Islamisasi pengetahuan adalah pembebasan ilmu dari pemahaman yang berasaskan duniawi yang cenderung bebas nilai.[8]
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah proses mendapatkan ilmu pengetahuan berdasarkan ajaran Islam.
3. Epistimologi
Episimologi berasal dari bahasa Yunani, episteme berarti pengetahuan dan logos berarti ilmu atau teori. Jadi Epistimologi ialah ilmu yang membahas bagaomana memperoleh ilmu pengetahuan baik secara teoritis (idea) maupaun praktis (indrawi).[9] Selain itu Epistimologi diartikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari tentang filsafat atau teori ilmu pengetahuan dalam mengkaji asal usul filsafat atau benda, dalam istilah bahasa Inggris dikenal dengan istilah Theori of Knowledge.[10]
B. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
1. Latar Belakang lahirnya Sekularisasi
Sekularisasi berasal dari dunia barat kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para pemikir bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang agung (280-337) yang melegalisasikan dalam dalam wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan.[11]
Gambaran gereja (baca : pemuka agama atau pendeta) pada saat itu datang dengan membawa pemikiran menentang akal dan rasio dengan mempertahankan kebekuannya melawan ilu dan kebebasan, tampil dengan menghadapi kemajuan. Sikap keras para aktifis gereja dalam menentang para ahli pikir (ilmuan) yang menorehkan hasil penelitian ilmiyah dan nalarnya karena dinilai bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Hingga gereja memusuhi orang-orang yang menyampaikan teori ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan ajarannya, seperti berpendapat bahwa bumi ini bulat dianggap sebuah kekafiran atau keluar dari agama. Kepicikan berpikir gereja terhadap orang-orang yang mengemukakan teori atau pandangan keilmuan yang bertentangan dengan ajarannya ternyata melahirkan bentuk kekejaman dengan menyiksa jenazah ilmuan dan membakarnya, yang hidup pun tidak kalah penyiksaan yang diterimanya. Sehingga para ahli pikir menuntut dipisahkannya urusan agama dari kehidupan sosial dan pemerintahan agar terindar dari beragamnya penyiksaan tersebut.[12]
Dengan terlepasnya dari para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa). Sebagaimana ungkapan Isa al Masih dalam Injil : sebagian untuk Allah dan sebagian untuk kaisar. Artinya masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada intervensi antar keduanya. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan dalam kitab tetap ditempatkan sebagai kebutuhan dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan ajaran Kristiani yang mengatakan manusia itu sebagai gambaran dan rupa Tuhan sedangkan Tuhan sendiri merupakan sumber terang dan pengetahuan. Oleh karena itu Tuhan menghendaki supaya kenal padanya dan meyelidiki segala yang diciptaka-Nya, sehingga dapat memperoleh pengetahuan.[13]
Sekularisasi secara formal diperkenalkan oleh G.J Holyoake (1817 – 1906 M)[14] merupakan reaksinya terhadap tindakan gereja-gereja yang bersifat otoriter terhadap sains. Sedangkan Galeleo (lahir 1564 M) dipandang sebagai pahlawan sekularisai ilmu penetahuan. Wujud orientasi aliran ini adalah pembebasan berpikir di luar ajaran agama, sehingga mereka mengambil kesimpulan bahwa ilmuan bebas berfikir sesuai dengan profesinya dan bagi agamawan yang tidak respon diberikan kebebasan mengatur urusan akhirat.[15]
2. Pokok-Pokok Ajaran Sekularisasi
Suatu faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir termasuk sekularisasi, atau sebagai acuan dalam melindungi pemahaman suatu tema yang distatemenka. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu :[16]
a. Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata.
b. Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.
c. Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka.
d. Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama.
e. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan.
Prinsip rasio dan kecerdasan yang sangat dijunjung tinggi oleh penganut sekularis, karena ilmu pengetahuan bisa berkembang dengan akal pikiran dan penalaran yang tinggi. Dan rasiolah yang melahirkan kebahagian menuju kemajuan, sedangkan agama tidak mampu menjelaskan secara rasio terhadap ilmu pengetahuan karena ia adalah keyakinan.[17]
3. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjau dari Epistimologi
Secara formal epistimologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan empirisme. Dimana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.
Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme, membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang indefendent dan objektif. Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah dan dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui pengalaman.
Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.[18]
Oleh kerena itu terdapat konsestensi antara sekularisasi dan rasionalisme dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah duniai dengan mengarahkan kecerdasan rasio.
Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia pemakainya. Jadi pada akhirnya dapat dikatakan bahwa sekularisasi ilmu pengetahuan kehilangan objektifitasnya.
Nourcholis Majid yang dikenal tokoh sekuler Indonesia, membahasakan bahwa ilmu pengetahuan itu, baik buruknya suatu ilmu pengetahuan tergantung oleh manusia yang memakainya. Pendangan selanjutnya bahwa sekularisasi itu pun perlu dengan konsep duniakan yang bersifat dunia dan akhiratkan yang akhirat.[19]
C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
1. Latar Belakang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sejak dekade 70-an, diskusi Islamisasi mulai mengemuka, marak dipublikasikan suatu hal yang ”newview” dikalangan ilmuan. Ketika suatu kondisi ilmu pengetahuan barat berkuasa terhadap dunia manusia yang bermauatan tanpa nilai (bebas nilai), lebih cenderung ke hal yang material saja. Hal tersebut merangsang para pemikir dikalangan ummat Islam bahwa ilmu pengetahuan buatan manusia tidak boleh bebas terpakai dan menguasai, dalam arti harus bernilai produk tuhan bukan produk nilai manusia karena ada tujuan terakhir setelah singgah di pelabuhan dunia yakni kampung abadi, akhirat.
Oleh karena itu, lahirlah Islamisasi ilmu pengetahuan dari sebuah korelasi terhadap ilmu-ilmu modern (baca : barat) yang cenderung menidurkan ilmu pengetahuan yang bebas nilai yang terlapas dari tuntutan wahyu. Dengan kata lain bahwa ilmu pengetahuan sudah sangat sekular pada akhirnya mengantarkan manusia pada kehidupan hampa spritualitas. Walaupaun pada dasarnya kita ketahui dalam sejarah bahwa Islam pada masa lampau sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan, akan tetapi karena “penyelewengan pihak Barbar” menengelamkan “gemilangnya” ilmu pengetahuan Islam.[20]
Dalam kalangan Islam muncullah seperti Ismail al-faruqy, Syech Muhammad Naquib al-Attas, saruddin Sardas sebagai tokoh-tokoh atau penggagas Islamisasi llmu Pengetahuan. Lahirnya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini didasarkan terhadap pada pandangan bahwa manusia ilmu pengetahuan produk modern dewasa ini tidak berhasil mengantar manusia pada cita-cita ilmu itu sendiri. Hal itu disebabkan karena ilmu dilepaskan dari akar ilahy dan dikosongkan dari pertimbangan nilai.[21]
2. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjau dari Epistimilogi
Pada dasarnya ilmu pengetahuan sudah ada sejak manusia (Adam) diciptakan, bahkan ilmu pengetahuan sudah melekat dalam diri manusia, hal ini disyaratkan oleh al-Qur’an dimana Allah SWT. yang langsung mengajarkan kepada Adam nama-nama benda yang sudah diciptakan sebelumnya. Dan nama benda tersebut mengandung arti sebagai unsur-unsur pengertian, baik yang ada di dunia maupun di akhirat. Kemudian pengetahuan itu pula yang memberikan Adam tempat yang mulia diantara makhluk-makhluk yang ada, termasuk malaikat yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk sujud sebagai penghormatan kepada Adam. Rasa hormat yang diberikan kepada Adam itu merupakan simbol pengakuan manusia atas keunggulannya. Keunggulan itu disebabkan oleh pengetahuan atas nama-nama benda yang diajarkan oleh Allah SWT kepadanya dan bukan karena keshalehannya, karena sudah pasti dalam keshalehan, para malaikat lebih unggul dari Adam. Selain pengetahuan sebagai alasan bentuk perhormatan kepada Adam, proses penciptaannya pun merupakan sebaik-baiknya, yang membuat kemuliaan tersendiri manusia.[22]
Dengan pengetahuan yang diberikan oleh Allah SWT ke Adam, maka perbincaan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini menambah semangat untuk membangkitkan kembali kemesraan terhadap hubungan harmonis antara agama dan ilmu pengetahuan. Meskipun Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri tidak pernah dikenal dalam pemikiran Islam, kerena ketika manusia lahir di rahim Islam maka seyogyanya harus berkepribadian Islam dari segala corak.
Islamisi Ilmu Pengetahuan memandang bahwa dalam realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu adalah ilmu pengetahuan Allah. Pandangan adanya hukum alam tersebut sama dengan sekuler, tetapi dalam pandangan Islam hukum tersebut adalah ilmu pengetahuan Allah. Sebagaimana ilmu pengetahuan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tetapi mempunyai maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan itu sesuai dengan maksud dan tujuan tuhan menciptakan ilmu pengetahuan.[23]
Dalam Islam, ilmu pengetahuan terjadi karena pengkristalan pengalaman dan pengetahuan sendiri, maupun informasi dari orang lain, yang dapat diungkapkan dengan kenyataan secara objektif ataupun subjektif. Ilmu barat dibentuk atas dasar fakta empiris atau indrawi saja, tanpa menghiraukan sumbernya, yakni Allah, yang telah memberikan esensi berbagai ilmu.[24] Jadi, epistimologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan melalui Tuhan wahyu ilahy), akal, pengalaman, maupun intuiasi, selain itu alam semesta dengan dengan mengkaji al-Qur’an yang tersurat dan tersirat.[25]
Hamid Fahmy Zarkazi, dalam wordlview sebagai asas Epistimologi Islam mengatakan bahwa sebenarnya cara bagaimana seorang individu dalam proses mendapatkan ilmu cukup beragam sesuai dengan worldview yang dimiliki yang terbentuk dengan akumulasi pengetahuan dalam pikirannya baik secara apriori maupun aposteriori. Dalam Islam worldview-nya wahyu ilahy yang terbentuk dari metaphysical belief.[26] Dan sebagaimana pula yang dibahasakan oleh O. Hasem dalam keesaan Tuhan, sebuah pembahasan ilmiyah : sicience without religion is lame, religion without scince is blind.[27]
Namun Epistemologi islamisasi Ilmu Pengetahuan, menurut Fazlur Rahman secara orisinil sangat sulit dicapai., sehingga dia lebih cenderung membahasakan Islamisasi dari daratan aksiologi (wilayah etika) bukan pada ontologi maupun epistimologi.[28] Sebagaimana pula Zainuddin Sardan bahwa intelektual Islam masa lampau tidak seorang pun yang mengajukan pertanyaan fundametal seperti dari mana dan bagaimana, barasal dan apa bentuk epstemologi Islam itu.[29]
III. KESIMPULAN
1. Sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan ditinjau dari epitemologi adalah adanya suatu proses mendapatkan ilmu pengetahuan dengan melepaskan dogma agama di satu sisi dan si sisi lain sebaliknya yakni proses mendapatkan ilmu pengetahuan dengan landasan ajara-ajaran Islam.
2. Sekularisasi lahir dari pemberontakan ahli pikir terhadap peraturan gereja yang sifatnya dogmatis, sedangkan Islamisasi Ilmu Pengetahuan lahir dari lepasnya ilmu dari akar ilahy dan dikosongkan dari pertimbangan nilai.
3. Dari segi epitemologi sekularisasi berada pada tataran rasionalisme dan empirisme, sedangkan Islamisasi adalah wahyu ilahy.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Farid, Agama dan Ilmu-Ilmu sosial, dalam jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulmul Qur’an, No. 2 Vol V, 1994
Hasem, O, Keesaan Tuhan, Sebuah Pembahasan Ilmiyah, Cet. III; Bandung : Pustaka Salman ITB, 1983
Ishak, Baego, Perkembangan Sumber Daya Manusia Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan, dalam warta IAIN Alauddin : Mengembangkan Wawasan Ilmiah dan Keagamaan, Makassar : IAIN Alauddin, 1993
Jihad, Saiful, Islam dan paradigma Islam : Suatu Kajian Aksiologi, Pare-Pare : tp, 2001
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Supermini, Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia, 2002
Mahmud, Natsir, Epistimologi dan Study Kontemporer, Makassar : tp, 2000
Majid, Nurcholis, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Cet. XI; Bandung : Mizan 1998
Nasotion, Harun, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, Cet V; Bandung : Mizan, 1998
Nihaya, Filafat Umum : Dari Yunani Kuno Sampai Modern, Makassar: Berkah Utami, 1999
Praja, Juhaya S, Filsafat Ilmu, Jakarta : Teraju 2002
-------------------, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Cet. I ; Bogor : Kencana, 2003
Qardhawi, Yusuf, at-Tatharufu al-‘Ilmani fi Mujahawati al-Islam, diterjemahkan oleh Nabhani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000
Saifuddin, Ahmad M, Desekularisasi Pemikiran : Landasan Islamisasi : Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998
Sudarsono, Ilmu Filsafat : Sebuah Penganta, Cet. II; Jakarta : PT. Benika Cipta, 2001
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III, Cet. II; Jakarta : Balai Pusat, 2002
Vagleria, Laura Veccia, Apologia Dell Islamismo, diterjemahkan oleh Ahmady Daudy dengan judul Apologia Islam , Jakarta : Bulan Bintang, 1983
Zain, Muhammad, Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syech Muhammad Naquib al-Attas : Yogyakarta : LESISKA, 2001
Zarkazy , Hamid, Fahmy, Wordlview Sebagai Asas Epistimologi Islam, Dalam Islamiah, Tahun II, No. 5, 2005
[1] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Cet. I; Bogor : Kencana, 2003), h. 188. lihat pula Harun Nasotion, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, (Cet. V; bandung : Mizan, 1998), h. 188
[2] Yusup Qardhawi, at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati, diterjemahkan oleh Nahbani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000, h. 1
[3] Tim Penyusun Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III, (Cet. II; Jakarta : balai Pustaka, 2002), h. 1015
[4] Harun Nasotion, loc. Cit.
[5] Juhaya S. Praja, loc. Cit
[6] Uraian lebih lengkap lihat Norcholis Majid, Islam, Kemodern, dan Keindonesiaan, (Cet. XI; Bandung : Mizan, 1998), h. 47
[7] Farid Alatas, Agama dn Ilmu-Ilmu Sosial, dalam jurnal ilmu dan Kebudayaan ulumul Qr’an, No. 2, Vol V, 1994, h. 41
[8]Ibid.
[9] Nihaya, Filsafat Umum : dari Yunani sampai Modern, (Makassar : Berkah Utami, 1999), h. 12
[10] Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar, Cet. II; Jakarta : PT. Renika Ilmu Pengetahua, 2001), h. 137
[11] Nihaya, op. cit, h. 43
[12] Yusup Qardhawi, op. cit. h. 7
[13] Uraian selanjutnya lihat Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Supermini, (Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia, 2002, h. 1
[14] G. J. Holyoake (1817-1906 M). lahir di Birmingham Inggris, anak seorang pekerja keras. Pendidikannya berawal dari agama, namun kehidupan remajanya diliputi oleh situasi politik dan sosial ditempat kelahirannya yang keras, membentuk pribadi yang betsikap gerakan protes terhadap sosial dan politik.
[15] Norcholis Majid, op. cit, h. 78.
[16] Nihaya , op. cit, h. 136
[17] Lihat Natsir Mahmud, Epistimologi dan Study Kontemporer, (Makassar : tp, 2000), h. 1
[18] Natsir Mahmud, ibid.
[19] Bandingkan dengan Norcholis Majid, Islam Kemoderann , dan KeIndonesiaan, (Cet. XI; Bandung : Mizan, 1998, h. 222-223 dan harun Nasotion, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, (Cet. V; Bandung : Mizan, 1988 h. 188.
[20] Lihat Laura Veccia Vaglieri, Apologia Dell Islamismo diterjemahkan oleh Ahmad Daudy dengan judul Apologi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), h. 80
[21] Muhammad Zain, Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syech Muhammad Naquib al-Attas, (Yogyakarta : LESISKA, 2001), h. 1. perkembangan selanjutnya melahirkan pikiran-pikiran Islamisasi dari para pemikir-pemikir muslim dan lembaga-lembaga Isla sebagai literatur filsafat ilmu Islam dan Islamiasi pengetahuan. Lihat pula Juhaya S. Praja, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Teraju, 202), h. 222-224
[22] Uraian lengkap lihat QS. Al-Baqarah (2 : 34)
[23] Uraian lengkap lihat Baego Ishak, Perkembangan Sumber Daya Manusia Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan, dalam warta IAIN Alauddin : Mengembangkan Wawasan Ilmiyah dan Keagamaan, (Makassar : IAIN Alauddin, 1993) h. 7-21
[24] Ahmad M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran :Landasan Islamisasi, (cet. IV ; Bandung : Mizan, 1998) h. 33
[25] Saiful Jihad, Islam dan Paradigma Islam : Suatu Kajian Aksiologi, (Pare-Pare : tp, 2001), h. 3. lihat Hamid Fahmy Zarkazy, Wordlview Sebagai Asas Epistimologi Islam, No. 5 (Surabaya : Islamiah, 2005), h. 9.
[26] Ibid, h. 14
[27]Hasem, Keesaan Tuhan, Sebua Pembahasa Ilmiyah, (Cet. IIII; Bandung : Pustaka Salman ITB, 1983), h. 1
[28] Saiful Jihad, op. cit,. h. 9
[29] Ibid
Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spritua, moral dan etika. Oleh karena itu Islamisasi ilmu pengetahuan dalam pandangan para pemikir Islam merupakan suatu hal yang mesti dan harus dirumuskan.
Dari uraian singkat di atas penulis akan membahas hal sebagai berikut :
1. Arti sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan serta yang melatar belakangi munculnya.
2. Sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengethuan ditinjau dari epstimologinya.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Sekularisasi
Istilah Sekularisasi berkakar dari kata Sekuler yang berasal dari bahas latin Seaculum artinya abad ( age, century ), yang mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spritual, abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.[1]
Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi Mujaahwati al-Islam, sekular ialah la Diniyyah atau Dunnaawiyah yang yang bermakna sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan agama atau semata dunia.[2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang iak didasarkan pada ajaran agama.[3]
Makna Sekularisasi itu sendiri, menurut Norcholis Madjid mengartikannya sebagai proses penduniawiyaan atau proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama.[4] Adapula yang mendefinisikannya sebagai suatu proses yang terjadi dalam segala sektor kehidupan masayarakat dan kebudayaan yang lepas dari dominasi lembaga-lembaga an simbol-simbol keagamaan.[5]
Dari berbagai di atas menunjukkan bahwa makna Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan/pembebasan ilmu dari setiap pengeruh agama sebagai landasan berpikir.
2. Islamisasi
Islamisasi, ditinjau dari katanya bersalal dari akar kata Islam. Secara etimologi berarti tunduk/pasrah dan patuh. Sedang terminologi adalah agama yang menganjurkan sikap pasrah kepada Tuhan yang dalam bentuk yang diajarkan melalui Rasulullah SAW. yang berpedoman pada kitab suci al-Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Islamisasi sendiri bermakna pengislaman.[6]
Farid Alatas membahasakan Islmisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu ilmu yang merujuk pada upaya mengelimir unsur-unsur atau konsep-konsep pokok yang membentuk peradaban dan kebudayaan barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, yang termasuk dalam unsur-unsur atau konsep humanisme, drama serta strategi dalam kehidupan rohani yang meyebabkan ilmu yang sepenuhnya benar menurut ajaran Islam tersebar ke seluruh dunia, setelah melewati proses di atas ke dalam ilmu tersebut dinamakanlah unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman. [7]
Islamisasi pengetahuan yang mengandung ilmu benar jika ilmu itu sesuai dengan fitrah yang mempunyai unsur-unsur pokok keIslaman seperti insan, din, ilm’ dan ma’rifah’ad, ’amal adab dan sebagainya. Jadi Islamisasi pengetahuan adalah pembebasan ilmu dari pemahaman yang berasaskan duniawi yang cenderung bebas nilai.[8]
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah proses mendapatkan ilmu pengetahuan berdasarkan ajaran Islam.
3. Epistimologi
Episimologi berasal dari bahasa Yunani, episteme berarti pengetahuan dan logos berarti ilmu atau teori. Jadi Epistimologi ialah ilmu yang membahas bagaomana memperoleh ilmu pengetahuan baik secara teoritis (idea) maupaun praktis (indrawi).[9] Selain itu Epistimologi diartikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari tentang filsafat atau teori ilmu pengetahuan dalam mengkaji asal usul filsafat atau benda, dalam istilah bahasa Inggris dikenal dengan istilah Theori of Knowledge.[10]
B. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
1. Latar Belakang lahirnya Sekularisasi
Sekularisasi berasal dari dunia barat kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para pemikir bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang agung (280-337) yang melegalisasikan dalam dalam wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan.[11]
Gambaran gereja (baca : pemuka agama atau pendeta) pada saat itu datang dengan membawa pemikiran menentang akal dan rasio dengan mempertahankan kebekuannya melawan ilu dan kebebasan, tampil dengan menghadapi kemajuan. Sikap keras para aktifis gereja dalam menentang para ahli pikir (ilmuan) yang menorehkan hasil penelitian ilmiyah dan nalarnya karena dinilai bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Hingga gereja memusuhi orang-orang yang menyampaikan teori ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan ajarannya, seperti berpendapat bahwa bumi ini bulat dianggap sebuah kekafiran atau keluar dari agama. Kepicikan berpikir gereja terhadap orang-orang yang mengemukakan teori atau pandangan keilmuan yang bertentangan dengan ajarannya ternyata melahirkan bentuk kekejaman dengan menyiksa jenazah ilmuan dan membakarnya, yang hidup pun tidak kalah penyiksaan yang diterimanya. Sehingga para ahli pikir menuntut dipisahkannya urusan agama dari kehidupan sosial dan pemerintahan agar terindar dari beragamnya penyiksaan tersebut.[12]
Dengan terlepasnya dari para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa). Sebagaimana ungkapan Isa al Masih dalam Injil : sebagian untuk Allah dan sebagian untuk kaisar. Artinya masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada intervensi antar keduanya. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan dalam kitab tetap ditempatkan sebagai kebutuhan dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan ajaran Kristiani yang mengatakan manusia itu sebagai gambaran dan rupa Tuhan sedangkan Tuhan sendiri merupakan sumber terang dan pengetahuan. Oleh karena itu Tuhan menghendaki supaya kenal padanya dan meyelidiki segala yang diciptaka-Nya, sehingga dapat memperoleh pengetahuan.[13]
Sekularisasi secara formal diperkenalkan oleh G.J Holyoake (1817 – 1906 M)[14] merupakan reaksinya terhadap tindakan gereja-gereja yang bersifat otoriter terhadap sains. Sedangkan Galeleo (lahir 1564 M) dipandang sebagai pahlawan sekularisai ilmu penetahuan. Wujud orientasi aliran ini adalah pembebasan berpikir di luar ajaran agama, sehingga mereka mengambil kesimpulan bahwa ilmuan bebas berfikir sesuai dengan profesinya dan bagi agamawan yang tidak respon diberikan kebebasan mengatur urusan akhirat.[15]
2. Pokok-Pokok Ajaran Sekularisasi
Suatu faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir termasuk sekularisasi, atau sebagai acuan dalam melindungi pemahaman suatu tema yang distatemenka. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu :[16]
a. Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata.
b. Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.
c. Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka.
d. Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama.
e. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan.
Prinsip rasio dan kecerdasan yang sangat dijunjung tinggi oleh penganut sekularis, karena ilmu pengetahuan bisa berkembang dengan akal pikiran dan penalaran yang tinggi. Dan rasiolah yang melahirkan kebahagian menuju kemajuan, sedangkan agama tidak mampu menjelaskan secara rasio terhadap ilmu pengetahuan karena ia adalah keyakinan.[17]
3. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjau dari Epistimologi
Secara formal epistimologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan empirisme. Dimana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.
Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme, membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang indefendent dan objektif. Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah dan dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui pengalaman.
Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.[18]
Oleh kerena itu terdapat konsestensi antara sekularisasi dan rasionalisme dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah duniai dengan mengarahkan kecerdasan rasio.
Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia pemakainya. Jadi pada akhirnya dapat dikatakan bahwa sekularisasi ilmu pengetahuan kehilangan objektifitasnya.
Nourcholis Majid yang dikenal tokoh sekuler Indonesia, membahasakan bahwa ilmu pengetahuan itu, baik buruknya suatu ilmu pengetahuan tergantung oleh manusia yang memakainya. Pendangan selanjutnya bahwa sekularisasi itu pun perlu dengan konsep duniakan yang bersifat dunia dan akhiratkan yang akhirat.[19]
C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
1. Latar Belakang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sejak dekade 70-an, diskusi Islamisasi mulai mengemuka, marak dipublikasikan suatu hal yang ”newview” dikalangan ilmuan. Ketika suatu kondisi ilmu pengetahuan barat berkuasa terhadap dunia manusia yang bermauatan tanpa nilai (bebas nilai), lebih cenderung ke hal yang material saja. Hal tersebut merangsang para pemikir dikalangan ummat Islam bahwa ilmu pengetahuan buatan manusia tidak boleh bebas terpakai dan menguasai, dalam arti harus bernilai produk tuhan bukan produk nilai manusia karena ada tujuan terakhir setelah singgah di pelabuhan dunia yakni kampung abadi, akhirat.
Oleh karena itu, lahirlah Islamisasi ilmu pengetahuan dari sebuah korelasi terhadap ilmu-ilmu modern (baca : barat) yang cenderung menidurkan ilmu pengetahuan yang bebas nilai yang terlapas dari tuntutan wahyu. Dengan kata lain bahwa ilmu pengetahuan sudah sangat sekular pada akhirnya mengantarkan manusia pada kehidupan hampa spritualitas. Walaupaun pada dasarnya kita ketahui dalam sejarah bahwa Islam pada masa lampau sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan, akan tetapi karena “penyelewengan pihak Barbar” menengelamkan “gemilangnya” ilmu pengetahuan Islam.[20]
Dalam kalangan Islam muncullah seperti Ismail al-faruqy, Syech Muhammad Naquib al-Attas, saruddin Sardas sebagai tokoh-tokoh atau penggagas Islamisasi llmu Pengetahuan. Lahirnya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini didasarkan terhadap pada pandangan bahwa manusia ilmu pengetahuan produk modern dewasa ini tidak berhasil mengantar manusia pada cita-cita ilmu itu sendiri. Hal itu disebabkan karena ilmu dilepaskan dari akar ilahy dan dikosongkan dari pertimbangan nilai.[21]
2. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjau dari Epistimilogi
Pada dasarnya ilmu pengetahuan sudah ada sejak manusia (Adam) diciptakan, bahkan ilmu pengetahuan sudah melekat dalam diri manusia, hal ini disyaratkan oleh al-Qur’an dimana Allah SWT. yang langsung mengajarkan kepada Adam nama-nama benda yang sudah diciptakan sebelumnya. Dan nama benda tersebut mengandung arti sebagai unsur-unsur pengertian, baik yang ada di dunia maupun di akhirat. Kemudian pengetahuan itu pula yang memberikan Adam tempat yang mulia diantara makhluk-makhluk yang ada, termasuk malaikat yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk sujud sebagai penghormatan kepada Adam. Rasa hormat yang diberikan kepada Adam itu merupakan simbol pengakuan manusia atas keunggulannya. Keunggulan itu disebabkan oleh pengetahuan atas nama-nama benda yang diajarkan oleh Allah SWT kepadanya dan bukan karena keshalehannya, karena sudah pasti dalam keshalehan, para malaikat lebih unggul dari Adam. Selain pengetahuan sebagai alasan bentuk perhormatan kepada Adam, proses penciptaannya pun merupakan sebaik-baiknya, yang membuat kemuliaan tersendiri manusia.[22]
Dengan pengetahuan yang diberikan oleh Allah SWT ke Adam, maka perbincaan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini menambah semangat untuk membangkitkan kembali kemesraan terhadap hubungan harmonis antara agama dan ilmu pengetahuan. Meskipun Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri tidak pernah dikenal dalam pemikiran Islam, kerena ketika manusia lahir di rahim Islam maka seyogyanya harus berkepribadian Islam dari segala corak.
Islamisi Ilmu Pengetahuan memandang bahwa dalam realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu adalah ilmu pengetahuan Allah. Pandangan adanya hukum alam tersebut sama dengan sekuler, tetapi dalam pandangan Islam hukum tersebut adalah ilmu pengetahuan Allah. Sebagaimana ilmu pengetahuan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tetapi mempunyai maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan itu sesuai dengan maksud dan tujuan tuhan menciptakan ilmu pengetahuan.[23]
Dalam Islam, ilmu pengetahuan terjadi karena pengkristalan pengalaman dan pengetahuan sendiri, maupun informasi dari orang lain, yang dapat diungkapkan dengan kenyataan secara objektif ataupun subjektif. Ilmu barat dibentuk atas dasar fakta empiris atau indrawi saja, tanpa menghiraukan sumbernya, yakni Allah, yang telah memberikan esensi berbagai ilmu.[24] Jadi, epistimologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan melalui Tuhan wahyu ilahy), akal, pengalaman, maupun intuiasi, selain itu alam semesta dengan dengan mengkaji al-Qur’an yang tersurat dan tersirat.[25]
Hamid Fahmy Zarkazi, dalam wordlview sebagai asas Epistimologi Islam mengatakan bahwa sebenarnya cara bagaimana seorang individu dalam proses mendapatkan ilmu cukup beragam sesuai dengan worldview yang dimiliki yang terbentuk dengan akumulasi pengetahuan dalam pikirannya baik secara apriori maupun aposteriori. Dalam Islam worldview-nya wahyu ilahy yang terbentuk dari metaphysical belief.[26] Dan sebagaimana pula yang dibahasakan oleh O. Hasem dalam keesaan Tuhan, sebuah pembahasan ilmiyah : sicience without religion is lame, religion without scince is blind.[27]
Namun Epistemologi islamisasi Ilmu Pengetahuan, menurut Fazlur Rahman secara orisinil sangat sulit dicapai., sehingga dia lebih cenderung membahasakan Islamisasi dari daratan aksiologi (wilayah etika) bukan pada ontologi maupun epistimologi.[28] Sebagaimana pula Zainuddin Sardan bahwa intelektual Islam masa lampau tidak seorang pun yang mengajukan pertanyaan fundametal seperti dari mana dan bagaimana, barasal dan apa bentuk epstemologi Islam itu.[29]
III. KESIMPULAN
1. Sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan ditinjau dari epitemologi adalah adanya suatu proses mendapatkan ilmu pengetahuan dengan melepaskan dogma agama di satu sisi dan si sisi lain sebaliknya yakni proses mendapatkan ilmu pengetahuan dengan landasan ajara-ajaran Islam.
2. Sekularisasi lahir dari pemberontakan ahli pikir terhadap peraturan gereja yang sifatnya dogmatis, sedangkan Islamisasi Ilmu Pengetahuan lahir dari lepasnya ilmu dari akar ilahy dan dikosongkan dari pertimbangan nilai.
3. Dari segi epitemologi sekularisasi berada pada tataran rasionalisme dan empirisme, sedangkan Islamisasi adalah wahyu ilahy.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Farid, Agama dan Ilmu-Ilmu sosial, dalam jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulmul Qur’an, No. 2 Vol V, 1994
Hasem, O, Keesaan Tuhan, Sebuah Pembahasan Ilmiyah, Cet. III; Bandung : Pustaka Salman ITB, 1983
Ishak, Baego, Perkembangan Sumber Daya Manusia Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan, dalam warta IAIN Alauddin : Mengembangkan Wawasan Ilmiah dan Keagamaan, Makassar : IAIN Alauddin, 1993
Jihad, Saiful, Islam dan paradigma Islam : Suatu Kajian Aksiologi, Pare-Pare : tp, 2001
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Supermini, Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia, 2002
Mahmud, Natsir, Epistimologi dan Study Kontemporer, Makassar : tp, 2000
Majid, Nurcholis, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Cet. XI; Bandung : Mizan 1998
Nasotion, Harun, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, Cet V; Bandung : Mizan, 1998
Nihaya, Filafat Umum : Dari Yunani Kuno Sampai Modern, Makassar: Berkah Utami, 1999
Praja, Juhaya S, Filsafat Ilmu, Jakarta : Teraju 2002
-------------------, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Cet. I ; Bogor : Kencana, 2003
Qardhawi, Yusuf, at-Tatharufu al-‘Ilmani fi Mujahawati al-Islam, diterjemahkan oleh Nabhani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000
Saifuddin, Ahmad M, Desekularisasi Pemikiran : Landasan Islamisasi : Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998
Sudarsono, Ilmu Filsafat : Sebuah Penganta, Cet. II; Jakarta : PT. Benika Cipta, 2001
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III, Cet. II; Jakarta : Balai Pusat, 2002
Vagleria, Laura Veccia, Apologia Dell Islamismo, diterjemahkan oleh Ahmady Daudy dengan judul Apologia Islam , Jakarta : Bulan Bintang, 1983
Zain, Muhammad, Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syech Muhammad Naquib al-Attas : Yogyakarta : LESISKA, 2001
Zarkazy , Hamid, Fahmy, Wordlview Sebagai Asas Epistimologi Islam, Dalam Islamiah, Tahun II, No. 5, 2005
[1] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Cet. I; Bogor : Kencana, 2003), h. 188. lihat pula Harun Nasotion, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, (Cet. V; bandung : Mizan, 1998), h. 188
[2] Yusup Qardhawi, at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati, diterjemahkan oleh Nahbani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000, h. 1
[3] Tim Penyusun Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III, (Cet. II; Jakarta : balai Pustaka, 2002), h. 1015
[4] Harun Nasotion, loc. Cit.
[5] Juhaya S. Praja, loc. Cit
[6] Uraian lebih lengkap lihat Norcholis Majid, Islam, Kemodern, dan Keindonesiaan, (Cet. XI; Bandung : Mizan, 1998), h. 47
[7] Farid Alatas, Agama dn Ilmu-Ilmu Sosial, dalam jurnal ilmu dan Kebudayaan ulumul Qr’an, No. 2, Vol V, 1994, h. 41
[8]Ibid.
[9] Nihaya, Filsafat Umum : dari Yunani sampai Modern, (Makassar : Berkah Utami, 1999), h. 12
[10] Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar, Cet. II; Jakarta : PT. Renika Ilmu Pengetahua, 2001), h. 137
[11] Nihaya, op. cit, h. 43
[12] Yusup Qardhawi, op. cit. h. 7
[13] Uraian selanjutnya lihat Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Supermini, (Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia, 2002, h. 1
[14] G. J. Holyoake (1817-1906 M). lahir di Birmingham Inggris, anak seorang pekerja keras. Pendidikannya berawal dari agama, namun kehidupan remajanya diliputi oleh situasi politik dan sosial ditempat kelahirannya yang keras, membentuk pribadi yang betsikap gerakan protes terhadap sosial dan politik.
[15] Norcholis Majid, op. cit, h. 78.
[16] Nihaya , op. cit, h. 136
[17] Lihat Natsir Mahmud, Epistimologi dan Study Kontemporer, (Makassar : tp, 2000), h. 1
[18] Natsir Mahmud, ibid.
[19] Bandingkan dengan Norcholis Majid, Islam Kemoderann , dan KeIndonesiaan, (Cet. XI; Bandung : Mizan, 1998, h. 222-223 dan harun Nasotion, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, (Cet. V; Bandung : Mizan, 1988 h. 188.
[20] Lihat Laura Veccia Vaglieri, Apologia Dell Islamismo diterjemahkan oleh Ahmad Daudy dengan judul Apologi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), h. 80
[21] Muhammad Zain, Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syech Muhammad Naquib al-Attas, (Yogyakarta : LESISKA, 2001), h. 1. perkembangan selanjutnya melahirkan pikiran-pikiran Islamisasi dari para pemikir-pemikir muslim dan lembaga-lembaga Isla sebagai literatur filsafat ilmu Islam dan Islamiasi pengetahuan. Lihat pula Juhaya S. Praja, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Teraju, 202), h. 222-224
[22] Uraian lengkap lihat QS. Al-Baqarah (2 : 34)
[23] Uraian lengkap lihat Baego Ishak, Perkembangan Sumber Daya Manusia Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan, dalam warta IAIN Alauddin : Mengembangkan Wawasan Ilmiyah dan Keagamaan, (Makassar : IAIN Alauddin, 1993) h. 7-21
[24] Ahmad M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran :Landasan Islamisasi, (cet. IV ; Bandung : Mizan, 1998) h. 33
[25] Saiful Jihad, Islam dan Paradigma Islam : Suatu Kajian Aksiologi, (Pare-Pare : tp, 2001), h. 3. lihat Hamid Fahmy Zarkazy, Wordlview Sebagai Asas Epistimologi Islam, No. 5 (Surabaya : Islamiah, 2005), h. 9.
[26] Ibid, h. 14
[27]Hasem, Keesaan Tuhan, Sebua Pembahasa Ilmiyah, (Cet. IIII; Bandung : Pustaka Salman ITB, 1983), h. 1
[28] Saiful Jihad, op. cit,. h. 9
[29] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar