Selasa, 05 Januari 2010

UN “dibutuhkan” untuk Kemajuan Pendidikan Nasional

Jakarta - Pro dan kontra terhadap keputusan Mahkamah Agung (MA), yang meminta kepada pemerintah untuk tidak memakai lagi ujian nasional (UN) terus bergulir. Koalisi Pelajar Indonesia (KPI) yang terdiri dari Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) dan gabungan OSIS Sekolah dan Madrasah tetap “mendukung dilaksanakannya Ujian Nasional (UN)”.
“KPI mendesak kepada pemerintah agar fokus pada peningkatan mutu pendidikan dengan melakukan perbaikan dan peningkatan mutu SDM tenaga pendidik, infrastruktur, dan sistem evaluasi demi kemajuan pendidikan nasional,” kata Ahmad Syauqi, ketua umum IPNU.
“Mengingat persiapan UN 2010 sudah berjalan maka jalan tengahnya UN 2010 tetap dilaksanakan sesuai jadwalnya, dan kami mendesak agar UN ini tidak sebagai satu-satunya penentu kelulusan, tetapi hanya sebagai instrument mutu pendidikan dan standarisasi pendidikan di negeri ini” ujar Ahmad Syauqi saat di temui di sekretariat PP. IPNU.
Ahmad Syauqi menambahkan, sebaiknya pemerintah perlu memfokuskan diri pada upaya perbaikan sarana pendidikan dan peningkatan SDM tenaga pendidik, selama gedung-gedung dan fasilitasnya belum mengalami perbaikan, maka tidak bisa diharapkan sebuah hasil evaluasi standar. “Karena standar nasional pendidikan mensyaratkan adanya standar isi, proses, kualitas pendidik, sarana, pengelolaan dan pembiayaan sebelum akhirnya berbicara standar penilaian (evaluasi)” , ucapnya.
“UN tetap dilaksanakan tapi kami sepakat kalau hal itu hanya sebagai bentuk evaluasi pembelajaran dan jangan dijadikan patokan Kelulusan. Tahap akhir dari suatu proses, termasuk proses pendidikan harus ada evaluasi. Hal tersebut penting untuk mengetahui kualitas pendidikan” ditambahkan Margareth ketua umum PP. IPPNU.
Kendati pun PP. IPNU dan PP. IPPNU mendukung tetap dilaksanakannya UN, tetap berharap kepada pemerintah membuka pintu dialog untuk menyamakan persepsi terhadap urgensi UN dan berharap kepada semua pihak baik pemerintah, masyarakat, LSM-LSM pendidikan, ormas-ormas mengapresiasi dan menghormati putusan MA terkait UN yang diputuskan bukan sebagai salah satunya alat penentu kelulusan peserta didik.

Khairul Anam
Sekjend PP IPNU

Rabu, 23 Desember 2009

Menyikapi Tradisi Natalan


Dlm sejarah kelahiran Yesus sampai skrg blm d’temukan fakta historis y me'butkan klahirnnya pada tgl 25 Des, malah s’mber lain menyebutx kelhirannya jatuh pada tgl 20 Des, 3 Jan, bahkan menjelang Maret. Natal pd tgl 25 Des ssguhnya perayaan publik zaman Romawi kuno. Dulunya, natal adl sbh p’ayaan yang disebut "Sol Invictus" pd masa Konstantin y agung, yakni p’ayaan kembalinya matahari y sdh sekian lama tdk muncul stlah musim dingin yang bgtu panjang. Ktika matahari itu mulai kembali, momen itu perlu dirayakan. Dalam hal ini matahari sbg kiasan Yesus sbg simbolisasi pencerahan... sbnrnya dlm tradisi natal bnyak y b'sumber atas dasar mitos, misal sosok sinterklaas, or figur Zwater Piet (Piet Hitam). Nah apa krn itu kita menolak keberdaan tradisi Natal di sekitar kita ? ( sebuah refleksi kasus perusakan instrumen Natal o/ FPI di Tangerang).. Menurutku Natal telah menjadi ritus yang hidup sejak berabad-abad lampau, dan tidak gampang untuk diubah begitu saja. Krn itu, yang perlu di’ptanyakan tidak lagi aspek kebenaran tekstual-historis perayaan natal, tapi apa maknanya yang terdalam bagi setiap insan yang mempercayainya...

Selasa, 22 Desember 2009

PESANTREN DAN PEMBENTUKAN PRILAKU SANTRI

KHAIRUL ANAM HS

(Tulisan ini sudah dipresentasikan di mata kuliah psikologi sosial Pascasarjana UIN Alauddin Makassar semester 3)

BAB I

PENDAHULUAN

Sejak awal kelahirannya, pesantren tumbuh, berkembang dan tersebar di berbagai pedesaan dan perkotaan. Keberadaan pesantren sebagai lembaga keislaman yang sangat kental dengan karakteristik Indonesia ini memiliki nilai-nilai yang strategis dalam pengembangan sikap dan perilaku masyarakat Indonesia. Realitas menunjukkan, pada satu sisi, sebagian besar penduduk Indonesia terdiri dari ummat Islam, dan pada sisi lain, mayoritas dari mereka tinggal di pedesaan.

Berdasarkan realitas tersebut, pesantren sampai saat ini memiliki pengaruh kuat pada hampir seluruh aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim yang taat. Kuatnya pengaruh pesantren tersebut membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantre tidak memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan perilaku masyarakat Islam khusus bagi yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren.

Tulisan ini mengankat kiprah yang dilakukan pesantren, peran kiai dan metode pembentukan perilaku santrinya. Dari penelusuran itu, langkah-langkah pesantren itu ke depan sangat penting untuk didiskusikan secara intens agar pesantren benar-benar bisa eksis, berperan maksimal mengantarkan masyarakat pada kemampuan untuk menyikapi kehidupan-kehidupan kontemporer dengan segala dampak yang dibawahnya

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pesantren

Kata “Pesantren” berasal dari kata “santri” [1] dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Atau pengertian lain mengatakan bahwa pesantren adalah sekolah berasrama untuk mempelajari agama Islam.[2] Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.[3]

Sedangkan asal usul kata “santri”, dalam pandangan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf.[4] Di sisi lain, Zamkhsyari Dhofier berpendapat bahwa, kata “santri” dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[5] Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.[6]

Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren. Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali sedikit perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren. Kata “Pondok” berasal dari bahasa Arab yang berarti funduq artinya tempat menginap (asrama). Dinamakan demikian karena pondok merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. [7]

M. Arifin menyatakan bahwa, penggunaan gabungan kedua istilah secara integral yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasi karakter keduanya. Pondok pesantren menurut M. Arifin :

Suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.[8]

Kuntowijoyo menanggapi penamaan pondok pesantren ini dalam komentarnya bahwa, sebenarnya penggunaan gabungan kedua istilah secara integral, yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren dianggap kurang jami’māni (singkat-padat). Selagi pengertiannya dapat diwakili istilah yang lebih singkat, maka istilah pesantren lebih tepat digunakan untuk menggantikan pondok dan pondok pesantren. Lembaga Research Islam (Pesantren luhur) mendefinisikan pesantren adalah suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya.[9]

Adapun menurut Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.[10]

Sementara A. Rasydianah mendefinisikan bahwa, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh masyarakat dibawah pimpinan seorang kiai melalui jalur pendidikan non formal berupa pembelajaran kitab kuning. Selain itu, banyak juga yang menyelenggarakan pendidikan keterampilan serta pendidikan formal, baik madrasah maupun sekolah umum.

Sementara menurut Zamakhsyari, bahwa sekurang-kurangnya harus ada lima elemen untuk dapat disebut pesantren, yaitu ada pondok, mesjid, kiai, santri, dan pengajian kitab Islam klasik yang sering disebut kitab kuning. Zamakhsyari juga mencoba mengklasifikasi pesantren dilihat dari jumlah santrinya. Menurutnya, pesantren yang santrinya kurang dari 1000 dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten, disebut sebagai pesantren kecil; santri antara 1000-2000 dan pengaruhnya pada beberapa kabupaten disebut sebagai pesantren menengah; bila santrinya lebih dari 2000 dan pengaruhnya tersebar pada tingkat beberapa kabupaten dan propinsi dapat digolongkan sebagai pesantren besar. [11]

Ahmad Tafsir menanggapi teori Zamakhsyari, bahwa gagasan ini dapat dipertimbangkan, meskipun masih bisa dipertanyakan. Misalnya ada pesantren yang jumlah santrinya tidak memenuhi kriteria pesantren besar tetapi lulusannya yang menjadi kiai, lalu membuka lagi pesantren baru, prosentasenya sangat tinggi.

Usaha untuk mengidentifikasi pesantren dilakukan juga oleh Kafrawi. Ia mencoba membagi pola pesantren menjadi empat pola, yaitu; pola I, ialah pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen berupa mesjid dan rumah kiai. Pesantren ini masih sederhana, kiai mempergunakan mesjid atau rumahnya untuk tempat mengaji, biasanya santri datang dari daerah sekitarnya, namun pengajian telah diselenggarakan secara kontinyu dan sistematik. Pola ini belum dianggap memiliki elemen pondok bila diukur dengan teori Zamakhsyari. Pola II, sama dengan pola I ditambah adanya pondokan bagi santri. Ini sama dengan syarat Zamakhsyari. Pola III, sama dengan pola II tetapi ditambah adanya madrasah. Pesantren pola III ini telah ada pengajian sistem klasikal. Pesantren Pola VI, adalah pesantren pola III ditambah adanya unit keterampilan[12] seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang, dan lain-lain.[13] Adapun Pola V, yang ditambahkan oleh Sudjoko Prasodjo, seperti halnya pola IV ditambah adanya universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga, dan sekolah umum.[14] Pada pola ini pesantren merupakan lembaga pendidikan yang telah berkembang dan bisa dikatakan sebagai pesantren modern.

Menarik juga klasifikasi yang diajukan oleh Wardi Bakhtiar – yang sejalan dengan pendapat Zamakhsyari – bahwa dilihat dari segi jenis pengetahuan yang diajarkan, pesantren terbagi menjadi dua macam. Pertama, Pesantren Salaf, yaitu pesantren yang mengajarkan kitab Islam klasik (kitab kuning) saja dan tidak diberikan pembelajaran pngetahuan umum. Kedua, Pesantren Khalaf, yang selain memberikan pembelajaran kitab Islam klasik, juga memberikan pengetahuan umum dengan jalan membuka sekolah umum di lingkungan dan dibawah tanggung jawab pesantren.[15]

Demikian pula yang dikemukakan oleh Bahaking Rama, bahwa dari segi aktivitas pendidikan yang dikembangkan, pesantren dapat diklasifikasi dalam beberapa tipe, yaitu;

(1) Pesantren tradisional, yaitu pesantren yang hanya menyelenggarakan pengajian kitab dengan sistem sorogan, bandongan dan wetonan, (2) Pesantren semi modern, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan campuran antara sistem pengajian kitab tradisional dengan madrasah formal dan mengadopsi kurikulum pemerintah. (3) Pesantren modern, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pola campuran antara sistem pengajian kitab tradisonal, sistem madrasah, dan sistem sekolah umum dengan mengadopsi kurikulum pemerintah (Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) dan ditambah dengan kurikulum muatan lokal. [16]

Dari berbagai pendapat tentang teori penamaan pesantren tersebut dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dibawah pimpinan seorang kiai, baik melalui jalur formal maupun non formal yang bertujuan untuk mempelajari dan mengamalkana ajaran Islam melalui pembelajaran kitab kuning dengan menekankan moral keagamaan sebagai pedoman dalam berprilaku keseharian santri.

B. Metode Pesantren dalam Membentuk Perilaku Santri

Apakah sebenarnya Perilaku? Perilaku merupakan seperangkat perbuatan/tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada dasarnya terdiri dari komponen pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor) atau tindakan. Dalam konteks ini maka setiap perbuatan seseorang dalam merespon sesuatu pastilah terkonseptualisasikan dari ketiga ranah ini. Perbuatan seseorang atau respon seseorang terhadap rangsang yang datang, didasari oleh seberapa jauh pengetahuannya terhadap rangsang tersebut, bagaimana perasaan dan penerimaannya berupa sikap terhadap obyek rangsang tersebut, dan seberapa besar keterampilannya dalam melaksanakan atau melakukan perbuatan yang diharapkan.

Bagi pesantren setidaknya ada 6 metode yang diterapkan dalam membentuk perilaku santri, yakni 1) Metode Keteladanan (Uswah Hasanah); 2) Latihan dan Pembiasaan; 3) Mengambil Pelajaran (ibrah); 4) Nasehat (mauidzah); 5) Kedisiplinan; 6) Pujian dan Hukuman (targhib wa tahzib)

1. Metode keteladanan

Secara psikologis, manusia sangat memerlukan keteladanan untuk mengembangkan sifat-sifat dan petensinya. Pendidikan perilaku lewat keteladana adalah pendidikan dengan cara memberikan contoh-contoh kongkrit bagi para santri. Dalam pesantren, pemberian contoh keteladanan sangat ditekankan. Kiai dan ustadz harus senantiasa memberikan uswah yang baik bagi para santri, dalam ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun yang lain[17], karena nilai mereka ditentukan dari aktualisasinya terhadap apa yang disampaikan. Semakin konsekuen seorang kiai atau ustadz menjaga tingkah lakunya, semakin didengar ajarannya.

2. Metode Latihan dan Pembiasaan

Mendidik perilaku dengan latihan dan pembiaasaan adalah mendidik dengan cara memberikan latihan-latihan terhadap norma-norma kemudian membiasakan santri untuk melakukannya. Dalam pendidikan di pesantren metode ini biasanya akan diterapkan pada ibadah-ibadah amaliyah, seperti shalat berjamaah, kesopanan pada kiai dan ustadz. Pergaulan dengan sesama santri dan sejenisnya. Sedemikian, sehingga tidak asing di pesantren dijumpai, bagaimana santri sangat hormat pada ustadz dan kakak-kakak seniornya dan begitu santunnya pada adik-adik pada junior, mereka memang dilatih dan dibaisakan untuk bertindak demikian

Latihan dan pembiasaan ini pada akhirnya akan menjadi akhlak yang terpatri dalam diri dan menjadi yang tidak terpisahkan. Al-Ghazali menyatakan :

"Sesungguhnya perilaku manusia menjadi kuat dengan seringnnya dilakukan perbuatan yang sesuai dengannya, dsertai ketaatan dan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah baik dan diridhai"[18]

3. Mendidik melalui ibrah (mengambil pelajaran)

Secara sederhana, ibrah berarti merenungkan dan memikirkan, dalam arti umum bisanya dimaknakan dengan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa. Abd. Rahman al-Nahlawi[19], seorang tokoh pendidikan asal timur tengah, mendefisikan ibrah dengan suatu kondisi psikis yang manyampaikan manusia untuk mengetahui intisari suatu perkara yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan, ditimbang-timbang, diukur dan diputuskan secara nalar, sehingga kesimpulannya dapam mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya, lalu mendorongnya kepada perilaku yang sesuai.

Tujuan Paedagogis dari ibrah adalah mengntarkan manusia pada kepuasaan pikir tentang perkara agama yang bisa menggerakkan, mendidik atau menambah perasaan keagamaan. Adapun pengambilan ibrah bisa dilakukan melalui kisah-kisah teladan, fenomena alam atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik di masa lalu maupun sekarang[20].

4. Mendidik melalui mauidzah (nasehat)

Mauidzah berarti nasehat[21]. Rasyid Ridla mengartikan mauidzah sebagai berikut.

”Mauidzah adalah nasehat peringatan atas kebaikan dan kebenaran dengan jalan apa yang dapat menyentuh hanti dan membangkitkannya untuk mengamalkan”[22]

Metode mauidzah, harus mengandung tiga unsur, yakni : a). Uraian tentang kebaikan dan kebenaran yang harus dilakukan oleh seseorang, dalam hal ini santi, misalnya tentang sopan santun, harus berjamaah maupun kerajinan dalam beramal; b). Motivasi dalam melakukan kebaikan; c). Peringatan tentang dosa atau bahaya yang bakal muncul dari adanya larangan bagi dirinya sendiri maupun orang lain[23].

5. Mendidik melalui kedisiplinan

Dalam ilmu pendidikan, kedisiplinan dikenal sebagai cara menjaga kelangsungan kegiatan pendidikan. Metode ini identik dengan pemberian hukuma atau sangsi. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran siswa bahwa apa yang dilakukan tersebut tidak benar, sehingga ia tidak mengulanginya lagi[24].

Pembentukan lewat kedisiplinan ini memerlukan ketegasan dan kebijaksanaan. Ketegasan mengharuskan seorang pendidik memberikan sangsi bagi pelanggar, sementara kebijaksanaan mengharuskan sang pendidik sang pendidik berbuat adil dan arif dalam memberikan sangsi, tidak terbawa emosi atau dorongan lain. Dengan demikian sebelum menjatuhkan sangsi, seorang pendidik harus memperhatikan beberapa hal berikut :

  1. perlu adanya bukti yang kuat tentang adanya tindak pelanggaran;
  2. hukuman harus bersifat mendidik, bukan sekedar memberi kepuasan atau balas dendam dari si pendidik;
  3. harus mempertimbangkan latar belakang dan kondisi siswa yang melanggar, misalnya frekuensinya pelanggaran, perbedaan jenis kelamin atau jenis pelanggaran disengaja atau tidak.

Di pesantren, hukuman ini dikenal dengan istilah takzir[25]. Takzir adalah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar. Hukuman yang terberat adalah dikeluarkan dari pesantren. Hukuman ini diberikan kepada santri yang telah berulang kali melakukan pelanggaran, seolah tidak bisa diperbaiki. Juga diberikan kepada santri yang melanggar dengan pelanggaran berat yang mencoreng nama baik pesantren.

6. Mendidik melalui targhib wa tahzib

Metode ini terdiri atas dua metode sekaligus yang berkaitan satu sama lain; targhib dan tahzib. Targhib adalah janji disertai dengan bujukan agar seseorang senang melakukan kebajikan dan menjauhi kejahatan. Tahzib adalah ancaman untuk menimbulkan rasa takut berbuat tidak benar[26]. Tekanan metode targhib terletak pada harapan untuk melakukan kebajikan, sementara tekanan metode tahzib terletak pada upaya menjauhi kejahatan atau dosa.

Meski demikian metode ini tidak sama pada metode hadiah dan hukuman. Perbedaan terletak pada akar pengambilan materi dan tujuan yang hendak dicapai. Targhib dan tahzib berakar pada Tuhan (ajaran agama) yang tujuannya memantapkan rasa keagamaan dan membangkitkan sifat rabbaniyah, tanpa terikat waktu dan tempat. Adapun metode hadiah dan hukuman berpijak pada hukum rasio (hukum akal) yang sempit (duniawi) yang tujuannya masih terikat ruang dan waktu. Di pesantren, metode ini biasanya diterapkan dalam pengajian-pengajian, baik sorogan maupun bandongan[27].

7. Mendidik melalui kemandirian

Kemandirian tingkah-laku adalah kemampuan santri untuk mengambil dan melaksanakan keputusan secara bebas. Proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan santri yang biasa berlangsung di pesantren dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu keputusan yang bersifat penting-monumental dan keputusan yang bersifat harian. Pada tulisan ini, keputusan yang dimaksud adalah keputusan yang bersifat rutinitas harian.

Terkait dengan kebiasan santri yang bersifat rutinitas menunjukkan kecenderungan santri lebih mampu dan berani dalam mengambil dan melaksanakan keputusan secara mandiri, misalnya pengelolaan keuangan, perencanaan belanja, perencanaan aktivitas rutin, dan sebagainya. Hal ini tidak lepas dari kehidupan mereka yang tidak tinggal bersama orangtua mereka dan tuntutan pesantren yang menginginkan santri-santri dapat hidup dengan berdikari. Santri dapat melakukan sharing kehidupan dengan teman-teman santri lainnya yang mayoritas seusia (sebaya) yang pada dasarnya memiliki kecenderungan yang sama. Apabila kemandirian tingkah-laku dikaitkan dengan rutinitas santri, maka kemungkinan santri memiliki tingkat kemandirian yang tinggi.

C. Peran Kiai dalam Proses Identifikasi Santri

Sebelum menguraikan kedudukan (peran) kiai di pesantren, terlebih dahulu penulis uraikan pengertian kiai. Kata "Kiai" berasal dari bahasa jawa kuno "kiya-kiya" yang artinya orang yang dihormati. Sedangkan dalam pemakaiannya dipergunakan untuk: pertama, benda atau hewan yang dikeramatkan, seperti kyai Plered (tombak), Kyai Rebo dan Kyai Wage (gajah di kebun binatang Gembira loka Yogyakarta), kedua orang tua pada umumnya, ketiga, orang yang memiliki keahlian dalam Agama Islam, yang mengajar santri di Pesantren. Sedangkan secara terminologis menurut Manfred Ziemnek pengertian kiai adalah "pendiri dan pemimpin sebuah pesantren sebagi muslim "terpelajar" telah membaktikan hidupnya "demi Allah" serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata "kyai" disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam[28].

Menurut Hartono karisma yang dimiliki kiai merupakan salah satu kekuatan yang dapat menciptakan pengaruh dalam masyarakat. Ada dua dimensi yang perlu diperhatikan. Pertama, karisma yang diperoleh oleh seseorang (kiai) secara given, seperti tubuh besar, suara yang keras dan mata yang tajam serta adanya ikatan genealogis denga kiai karismaik sebelumnya. Kedua, karisma yang diperoleh melalui kemampuan dalam pengausaan terhadap pengetahuan keagamaan disertai moralitas dan kepribadian yang saleh, dan kesetiaan menyantuni masyarakat[29].

Kiai dan pesantren merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif sebagian telah melakukan penyesuaian dan standarisasi pendidikannya dengan pendidikan umum, misalnya SMP, SMU, SMK, dan universitas. Dengan kata lain, sebagian pesantren ada yang telah melakukan perubahan model, yaitu dari model salafi menjadi khalafi, Perubahan itu diharapkan dunia pesantren tetap diminati masyarakat. Oleh karena itu, perubahan-perubahan substansial harus dilakukan untuk mengakomodasi sebagian dari tuntutan jaman[30].

Dengan perubahan itu diharapkan santri mampu memahami ilmu-ilmu umum sekaligus agama secara berimbang. Semboyan salah seorang pengasuh Pesantren Darul Ulum, Dr. K.H. Musta’in Romli (1930-1985), yaitu santri harus “berotak London dan berhati Masjidil Haram”[31] merupakan gagasan yang menarik. “Berotak London” menggambarkan keluasan penguasaan ilmu pengetahuan, dan “Berhati Masjidil Haram” menggambarkan kedalaman pemahaman dan pengamalan keagamaan santri. Semua itu akan menggambarkan keseimbangan antara kekuatan pikir dan dzikir dalam diri santri. Santri yang kelak mampu berpartisipasi dalam kemajuan jaman dengan tetap selalu dekat dengan Allah.

Orangtua memasukkan anaknya ke pondok pesantren biasanya disertai dengan harapan agar si anak mempunyai ilmu agama yang bagus, berakhlak mulia dan memahami hukum-hukum Islam. Selama ini tidak ada kekhawatiran bahwa dengan menuntut ilmu di pesantren akan menjauhkan kasih-sayang orangtua terhadap anak. Anak yang tinggal di pondok pesantren dalam waktu cukup lama tetap bisa beridentifikasi kepada kedua orangtuanya. Dengan menjalin komunikasi secara intens dan teratur diharapkan anak tidak akan kehilangan figur orangtua[32].

Seperti kita ketahui bahwa sumber identifikasi seorang anak tidak hanya kedua orangtuanya, tetapi bisa juga kepada figur-figur tertentu yang dianggap dekat dan memiliki pengaruh besar bagi anak. Keberadaan Kiai, pembimbing, ustad maupun teman sebaya juga bisa mempengaruhi pembentukan kepribadian anak[33].

Kelebihan inilah yang dimiliki pesantren sebagai lembaga pendidikan. Dengan segala keterbatasannya pesantren mampu menampilkan diri sebagai lembaga pembelajaran yang berlangsung terus-menerus hampir 24 jam sehari. Aktivitas dan interaksi pembelajaran berlangsung secara terpadu yang memadukan antara suasana keguruan dan kekeluargaan. Kiai sebagai figur sentral di pesantren dapat memainkan peran yang sangat penting dan strategis yang menentukan perkembangan santri dan pesantrennya. Kepribadian Kiai yang kuat, kedalaman pemahaman dan pengalaman keagamaan yang mendalam menjadi jaminan seseorang dalam menentukan pesantren pilihannya.

Berdasarkan pertimbangan di atas, santri mengidentifikasi Kiai sebagai figur yang penuh kharisma dan wakil atau pengganti orang-tua (inloco parentis).4 Kiai adalah model (uswah) dari sikap dan tingkah-laku santri. Proses sosialisasi dan interaksi yang berlangsung di pesantren memungkinkan santri melakukan imitasi terhadap sikap dan tingkah-laku Kiai. Santri juga dapat mengidentifikasi Kiai sebagai figur ideal sebagai penyambung silsilah keilmuan para ulama pewaris ilmu masa kejayaan Islam di masa lalu[34].

Kiai atau Ustad di pesantren bisa menempatkan diri dalam dua karakter, yaitu sebagai model dan sebagai terapis. Sebagai model, Kiai atau Ustad adalah panutan dalam setiap tingkah-laku dan tindak-tanduknya. Bagi anak usia 7-12 tahun hal ini mutlak dibutuhkan karena Kiai atau Ustad adalah pengganti orangtua yang tinggal di tempat yang berbeda. Dalam pesantren dengan jumlah santri yang banyak diperlukan jumlah Ustad yang bisa mengimbangi banyaknya santri sehingga setiap santri akan mendapatkan perhatian penuh dari seorang Ustad. Jika rasio keberadaan santri dan ustad tidak seimbang, maka dikhawatirkan ada santri-santri yang lolos dari pengawasan dan mengambil orang yang tidak tepat sebagai model[35].

Sebagai terapis, Kiai dan Ustad memiliki pengaruh terhadap kepribadian dan tingkah-laku sosial santri. Semakin intensif seorang ustad terlibat dengan santrinya semakin besar pengaruh yang bisa diberikan. Ustad bisa menjadi agen kekuatan dalam mengubah perilaku dari yang tidak diinginkan menjadi perilaku tertentu yang diinginkan. Akan sangat bagus jika anak dapat belajar dari sumber yang bervariasi, dibandingkan hanya belajar dari sumber tunggal[36].

BAB III

PENUTUP

Perjalanan hidup seorang manusia diawali pada waktu ia dilahirkan, dilanjutkan dengan suatu proses panjang yang akan menentukan bagaimana bentuk kepribadiannya pada masa dewasa. Identifikasi terhadap orang lain adalah salah satu dari sekian banyak proses yang dialami manusia. Hal ini berkaitan erat dengan bagaimana perilaku orang-orang dewasa yang ada di sekitar anak ketika ia sedang dalam masa pertumbuhan. Orangtua yang hangat, berwibawa, penuh kasih-sayang, dan memiliki kompetensi dalam mendidik anak akan membawa pengaruh yang baik bagi anak, dan pengaruh ini akan dibawa sampai seorang anak mencapai kedewasaan.

Seorang anak yang tinggal berjauhan dengan orangtuanya karena menjalani pendidikan di pesantren tidak akan kehilangan kesempatan untuk beridentifikasi dengan kedua orangtuanya. Orangtua bisa meyakinkan anak bahwa kasih-sayang mereka tidak terputus meskipun terpisahkan oleh jarak. Komunikasi yang intens, kunjungan secara rutin, memantau perkembangan anak harus selalu dilakukan orangtua.

Adanya pembinaan metode pesantren, Kiai, Ustad, dan pembimbing dalam jumlah yang cukup, akan bisa mengganti peran orangtua selama anak tinggal dalam asrama. Kiai dan Ustad di pesantren berperan dalam dua hal bagi santrinya, yaitu sebagai model dan sebagai terapis.

Daftar Pusataka :

Arifin, M, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) , Jakarta: Bumi Aksara, 1991

Burhanuddin, Tamyiz, Akhlak Pesantren : solusi bagi Kerusakan Akhlak, Yogyakarta; ITTIQA PRESS : 2001

Djiwandono, Sri Esthi Wuryani, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Grasindo : 2002

Dhofier, Zamkhasyari, Tradisi Pesantren, Cet. II; Jakarta; Mizan 1998

Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid III , Dar-al-Mishri: Beirut : 1977

Hamid, Abu, Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sul-Sel, dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial , Jakarta: Rajawali Press, 1983

Hartono, Hubungan antara Kepatuhan dan Otonomi Santri Remaja di Pesantren Darul Ulum Jombang, [Tesis], Bandung: PPs Univ. Padjadjaran : 2004

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991

Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan , Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1977

Mukhdar, Zuhdy, KH. Ali Ma'shum Perjuangan dan Pemikirannya, Yogyakarta, tnp, 1989

An-Nahlawi, Abd. Rahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, diterjemahkan Dahlan & Sulaiman, Bandung, CV. Dipenegoro, 1992

Nawawi, Hadari, Pendidikan dalam Islam, Surabaya; Al-Ikhlas: 1993

Prasodjo, Sudjoko, Profil Pesantren , Jakarta: LP3ES, 1982

Rama, Bahaking, Jejak Pembaharuan Pendidikan Pesantren; Kajian Pesantren As’adiyah Sengkang Sulawesi Selatan , Cet. I; Jakarta: Parodatama Wiragemilang, 2003

Ridha, Rasyid, Tafsir al-Manar, Jilid II, Mesir; Maktabah al-Qahirah, 1986

Sujuti, Mahmud, Politik Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Jombang: Studi tentang Hubungan Agama, Negara, dan Masyarakat, Yogyakarta: Galang Press, 2001

Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997

Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional , Jakarta: Quantum Teaching, 2005

Sumber Situs :

A. Haedar Ruslan, Dinamika Kepemimpinan Kiai di Pesantren , [artikel], didownload pada tgl 29 Mei di http//citizennews.suaramerdeka.com/index.php?option=com_

Ida Novianti, Proses Identifikasi Santri Cilik di Pondok Pesantren,[artikel], download pada tanggal 29 Mei 2008 http//idanovianti.wordpress.com/2007/11/13/pdf.



[1] Dalam penelitian Clifford Geertz berpendapat, kata santri mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti sempit santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itu, perkataan pesantren diambil dari perkataan santri yang berarti tempat untuk santri. Dalam arti luas dan umum santri adalah bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang, pergi ke mesjid dan berbagai aktifitas lainnya. Lihat Clifford Geertz, “Abangan Santri; Priyayi dalam Masyarakat Jawa”, diterjemahkan oleh Aswab Mahasun (Cet. II; Jakarta: Dunia Pusataka Jaya, 1983), h. 268, dikutip oleh Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 61

[2] Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sul-Sel”, dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 1983), h, 329

[3] Ibid., h. 328

[4] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1977), h. 19

[5] Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan), h. 18

[6] Nurcholish Madjid, op cit, h. 20

[7] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 70

[8] M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 240

[9] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), h. 247

[10] Mastuhu, op. cit, h. 55

[11] Zamakhsyari Dhofier, op, cit, h. 44

[12] Unit keterampilan yang ditambahkan oleh Kafrawi tersebut, sebetulnya telah disyaratkan juga oleh Al-Zarnuji yang menemukakan ukuran belajar dan tata tertib pesantren antara lain adalah pelaksanaan pelajaran keterampilan. Lihat Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim (Semarang: Toha Putra, t. th), h. 20

[13] Lihat Endang Soetari, “Laporan Penelitian Sistem Kepemimpinan Pondok Pesantren”, dikutip oleh Ahmad Tafsir, op. cit, h. 193

[14] Sudjoko Prasodjo, Profil Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 83

[15] Lihat Wardi Bakhtiar, Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di Jawa barat, dikutip oleh Ahmad tafsir, op. cit, h. 194

[16] Bahaking Rama, Jejak Pembaharuan Pendidikan Pesantren; Kajian Pesantren As’adiyah Sengkang Sulawesi Selatan (Cet. I; Jakarta: Parodatama Wiragemilang, 2003), h. 45

[17] Mukti Ali menyebutkan bahwa pendidikan terbaik ada di pesantren, sedang pengajaran terbaik ada di sekolah/madrasah. Lihat Zuhdy Mukhdar, KH. Ali Ma'shum Perjuangan dan Pemikirannya, (Yogyakarta, tnp, 1989)

[18] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid III , (Dar-al-Mishri: Beirut : 1977) h. 61

[19] Abd. Rahman an Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, diterjemahkan Dahlan & Sulaiman, (Bandung, CV. Dipenegoro, 1992, h. 390

[20] Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren : solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta; ITTIQA PRESS : 2001), h. 57

[21] Warson, Kamus Al-Munawwir, h. 1568

[22] Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid II, (Mesir; Maktabah al-Qahirah, tt), h. 404

[23] Lihat Tamyiz Burhanuddin, op. cit, h. 57-58

[24] Hadari Nawawi, Pendidikan dalam Islam, (Surabaya; Al-Ikhlas: 1993), 234

[25] Ta'zir berarti menghukum atau melatih disiplin. Lihat Warson Kamus Al-Munawwir, h. 952

[26] Abd. Rahman An Nahlawi, op. cit, 412

[27] Tamyiz Burhanuddin, op. cit, h. 61

[28] A. Haedar Ruslan, Dinamika Kepemimpinan Kiai di Pesantren , [artikel], di download pada tgl 29 Mei 2008 di http//citizennews.suaramerdeka.com/index.php?option=com_content&task=view&i

[29] Hartono, Hubungan antara Kepatuhan dan Otonomi Santri Remaja di Pesantren Darul Ulum Jombang, [Tesis], ( Bandung: PPs Univ. Padjadjaran : 2004), h. 32

[30] Hartono, op. cit, h. 33

[31] Mahmud Sujuthi, Politik Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Jombang: Studi tentang Hubungan Agama, Negara, dan Masyarakat, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hal. 44

[32] Ida Novianti, Proses Identifikasi Santri Cilik di Pondok Pesantren, [artikel], di download pada tanggal 29 Mei 2008 di http//idanovianti.wordpress.com/2007/11/13/identifikassanteri/pdf//, h. 6

[33] Lihat Djiwandono, Sri Esthi Wuryani, Psikologi Pendidikan, ( Jakarta: Grasindo : 2002), h. 203

[34] Ida Novianti, op. cit, h. 7

[35] Ibid

[36] Lihat Nurcholish Madjid, op.cit, h. 19-20