Pasca terjadinya gempa bumi di Aceh, Jogjakarta, Bengkulu dan terakhir di Manokwari sekitarnya, keprihatinan begitu mendalam dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Semua orang ikut berduka dan membicarakan musibah ini. Yang sangat disayangkan, sebagian tokoh agama terkesan asal bicara dalam mengomentari kasus gempa bumi ini. Sebagian mereka menganggap terjadinya gempa bumi adalah bentuk perbuatan aktif Tuhan terhadap alam raya. Gempa bumi dianggap sebagai cobaan, ujian, bahkan lebih mengerikan: azab dari Tuhan. Pertanyaannya: mengapa Tuhan begitu tega menghacurkan alam ini?
Pertayaan di atas akan melahirkan jawaban teologis yang membingungkan, jika harus dijawab dengan paradigma teosentris, di mana Tuhan dapat melakukan apapun yang Ia kehendaki, kemudian manusia mencari seribu satu alasan untuk tetap mensucikan-Nya. Yang terjadi kemudian adalah ketidakmampuan kita mengidentifikasi gejala alam secara rasional. Kebodohan menyebar dan kepuasan awam menjadi tujuan.
Gempa bumi sejatinya adalah gejala alam yang bisa jadi dipengaruhi oleh sikap manusia dalam merpergauli alam ini. Ketidakramahan kita terhadap lingkungan, tentu akan merusak ekosistem yang membuatnya berjalan di luar garis-garis kebaikan. Gempa bumi harus dipahami sebagai rusaknya tatanan ekosistem yang merupakan akibat dari ulah tangan manusia: penebangan hutan secara liar, perang, pengeboran bumi dan seterusnya. Mereka yang menguasai ekologi, geologi dan fisika, tentu harus diberikan tempat untuk menjelaskan semua ini, bukan mereka yang hanya pandai menyitir ayat-ayat. Fas `alû ahla az-zikr `in kuntum lâ ta’lamûn (Tanyakan kepada ahlinya jika kalian tidak mengerti)!
Gempa bumi bukan akibat dosa manusia dalam pengertian yang sangat normatif. Gempa bumi adalah akibat dosa kita dalam memperlakukan alam raya ini. Alam raya ini diciptakan dengan berbagai takdir (aturan) yang ditakdirkan untuk tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap takdir alam raya akan mengakibatkan kerusakan bagi semua. Oleh karenanya, tobat yang harus dilakukan adalah: berhenti memperlakukan alam dengan cara yang eksploitatif. Perlakukan alam ini sebagai sahabat, maka ia akan memberikan kehangatan bagi kita semua.
Pertayaan di atas akan melahirkan jawaban teologis yang membingungkan, jika harus dijawab dengan paradigma teosentris, di mana Tuhan dapat melakukan apapun yang Ia kehendaki, kemudian manusia mencari seribu satu alasan untuk tetap mensucikan-Nya. Yang terjadi kemudian adalah ketidakmampuan kita mengidentifikasi gejala alam secara rasional. Kebodohan menyebar dan kepuasan awam menjadi tujuan.
Gempa bumi sejatinya adalah gejala alam yang bisa jadi dipengaruhi oleh sikap manusia dalam merpergauli alam ini. Ketidakramahan kita terhadap lingkungan, tentu akan merusak ekosistem yang membuatnya berjalan di luar garis-garis kebaikan. Gempa bumi harus dipahami sebagai rusaknya tatanan ekosistem yang merupakan akibat dari ulah tangan manusia: penebangan hutan secara liar, perang, pengeboran bumi dan seterusnya. Mereka yang menguasai ekologi, geologi dan fisika, tentu harus diberikan tempat untuk menjelaskan semua ini, bukan mereka yang hanya pandai menyitir ayat-ayat. Fas `alû ahla az-zikr `in kuntum lâ ta’lamûn (Tanyakan kepada ahlinya jika kalian tidak mengerti)!
Gempa bumi bukan akibat dosa manusia dalam pengertian yang sangat normatif. Gempa bumi adalah akibat dosa kita dalam memperlakukan alam raya ini. Alam raya ini diciptakan dengan berbagai takdir (aturan) yang ditakdirkan untuk tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap takdir alam raya akan mengakibatkan kerusakan bagi semua. Oleh karenanya, tobat yang harus dilakukan adalah: berhenti memperlakukan alam dengan cara yang eksploitatif. Perlakukan alam ini sebagai sahabat, maka ia akan memberikan kehangatan bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar